“Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Az-Zariyat : 21)
Diri Manusia |
Alqur’an telah banyak menyibak tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila perasaan jiwa tidak pernah dibawa ke alamnya secara nyata. Atau dengan kata lain kita tidak mau menilik yang mana diri kita sesungguhnya. Bukan dengan teori-teori tasawuf atau psikologi yang sulit dimengerti yang kita butuhkan. Melainkan dimulai dengan yang sangat sederhana.
Adalah seorang bayi yang lahir dengan proses alami. Ia lahir bukan karena permintaan atau kehendaknya. Ia tidak mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak punya apa-apa bahkan telanjang dan malupun tidak punya. Lantas sekelilingnya memberikan kesadaran secara bertahap. Mulai dari pemberian nama, identitas kelamin dan batasan kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa namanya si Anu dan jenis kelaminnya laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya, ini kepala ada mata, telinga, hidung, mulut, ini tangan dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas apa yang ia terima dan ketahui. Sehingga sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan siapa yang sebenarnya diri ini. Ada sebuah ungkapan “barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi hambanya”.
Dalam tembang ilir-ilir Kanjeng Sunan Ampel Rahmatullah, dodot atau pakaian adalah sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa seseorang. Menurut filsafat, pakaian adalah sesuatu yang menempel mengikat (binding) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang binding dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kesadarannya akan terbelenggu. Oleh karena itu dalam hidupnya manusia harus selalu berusaha melakukan unbinding terhadap dunia sekitarnya. Maksudnya manusia harus mulai menyadari keterbatasan dirinya dimana selama ini kita “dijerumuskan” oleh pengetahuan yang kita dapat, bahwa diri ini hanya sebatas pada mata, telinga, tangan, kaki serta anggota tubuh lain yang kelihatan. Mari kita perhatikan tentang apa sebenarnya tubuh ini, diri ini.
Mengenal Diri |
Dalam bertauhid pembahasan tentang hati merupakan agenda utama. Tujuannya agar bisa menghubungkan diri kepada Allah. Untuk itu perlu penyelarasan dari ilmu tauhid dan syariat yang sebelumnya (oleh kebanyakan orang) telah dipelajari. Dalam sebuah kata-kata hikmah (bagi sebagian ulama ini dikatakan sebagai hadits dari Rasulullah SAW), bahwa :
"Man 'Arofa Nafsahu faqod 'Arofa Rabbahu", artinya : "Barangsiapa mengenal dirinya (nafsahu) maka ia akan mengenal Tuhannya".
Begitu pentingnya
mengenal diri karena pengenalan terhadap diri merupakan syarat mutlak untuk
dapat mengenal Allah yang merupakan awalnya beragama.
Salah satu Sahabat yang kualitas batinnya terdidik langsung Rasulullah SAW, Imam Ali r.a. Tajjul Arifin (Mahkota Ilmu) mengatakan bahwa : "Awwaluddin Ma'rifatullah", artinya : “Awal dari agama adalah mengenal Allah".
Bukan mengenal langit, bumi, bintang, jagat raya, alam semesta seisinya. Bukan mengenal ciptaan Allah tetapi mengenal Yang menciptakan. Bukan mengenal tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi Yang punya tanda. Untuk dapat mengenal Allah kita harus mengenal diri (An-Nafs) terlebih dahulu. Dari sini akan dapat diketahui esensi diri yang sebenarnya dan merupakan awal dari seseorang beragama dengan haq. Pengenalan kepada diri merupakan kunci untuk mengenal Tuhan, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk mengenal diri.
Diri manusia dapat dilihat secara inderawi dengan perilaku dan perangainya. Dari seseorang berperilaku, seseorang berperangai, merupakan cerminan dari hatinya. Sehingga untuk mengenal diri kita, kita harus memulainya dengan mengenal hati (qalb).
Kebanyakan manusia sering tidak menyadari realitas dirinya sendiri. Ia memandang tubuh fisiknya sebagai esensi dari dirinya sendiri dan lupa pada sifat abstrak dari hati spiritual. Manusia terlalu disibukkan dengan memberi makanan pada tubuh fisiknya untuk memenuhi hasrat-hasrat inderawinya, padahal sesungguhnya di tempat inilah ia harus menyiapkan bekal untuk hari akhir kelak.
Yang dimaksud hati dalam hubungannya hubungannya dengan Sang Pencipta adalah hati ruhaniah. Hati jenis inilah yang merasa, mengetahui serta mengenal. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau hati Robbaniyyah karena ia berhubungan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Hati inilah yang merupakan tempat untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) agar dapat beriman kepada Allah. Ma’rifat yang merupakan ilmu pengenalan terhadap Allah, tidak mungkin dapat dilakukan jika kita tidak mengenal hati dan tidak mengetahui dimana letak hati (qalb). Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti heart, soul, spirit, mind, dan intellect sering campur aduk ketika berbicara mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan konsep jiwa.
Salah satu Sahabat yang kualitas batinnya terdidik langsung Rasulullah SAW, Imam Ali r.a. Tajjul Arifin (Mahkota Ilmu) mengatakan bahwa : "Awwaluddin Ma'rifatullah", artinya : “Awal dari agama adalah mengenal Allah".
Bukan mengenal langit, bumi, bintang, jagat raya, alam semesta seisinya. Bukan mengenal ciptaan Allah tetapi mengenal Yang menciptakan. Bukan mengenal tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi Yang punya tanda. Untuk dapat mengenal Allah kita harus mengenal diri (An-Nafs) terlebih dahulu. Dari sini akan dapat diketahui esensi diri yang sebenarnya dan merupakan awal dari seseorang beragama dengan haq. Pengenalan kepada diri merupakan kunci untuk mengenal Tuhan, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk mengenal diri.
Diri manusia dapat dilihat secara inderawi dengan perilaku dan perangainya. Dari seseorang berperilaku, seseorang berperangai, merupakan cerminan dari hatinya. Sehingga untuk mengenal diri kita, kita harus memulainya dengan mengenal hati (qalb).
Kebanyakan manusia sering tidak menyadari realitas dirinya sendiri. Ia memandang tubuh fisiknya sebagai esensi dari dirinya sendiri dan lupa pada sifat abstrak dari hati spiritual. Manusia terlalu disibukkan dengan memberi makanan pada tubuh fisiknya untuk memenuhi hasrat-hasrat inderawinya, padahal sesungguhnya di tempat inilah ia harus menyiapkan bekal untuk hari akhir kelak.
Yang dimaksud hati dalam hubungannya hubungannya dengan Sang Pencipta adalah hati ruhaniah. Hati jenis inilah yang merasa, mengetahui serta mengenal. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau hati Robbaniyyah karena ia berhubungan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Hati inilah yang merupakan tempat untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) agar dapat beriman kepada Allah. Ma’rifat yang merupakan ilmu pengenalan terhadap Allah, tidak mungkin dapat dilakukan jika kita tidak mengenal hati dan tidak mengetahui dimana letak hati (qalb). Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti heart, soul, spirit, mind, dan intellect sering campur aduk ketika berbicara mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan konsep jiwa.
"... Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu ..." (QS. 49:7)
"...karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, ...". (QS. 49:14)
"...Mereka itulah orang-orang dimana Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka ..." (QS. 58:22)
Bahkan lebih dari
itu, dalam hadits Qudsi dikatakan: "...Tidak akan cukup untuk-Ku bumi dan
langit, tetapi yang cukup menampung-KU hanyalah hati (qalb) hamba-Ku yang
mukmin".
Maka dengan hatilah, seseorang dapat merasakan iman, dengan hatilah seorang hamba dapat mengenal Rabb-nya.
Hati yang halus itulah hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa, dan ia mengetahui serta mengenal segala sesuatu. Hati inilah yang jadi sasaran pembicaraan, yang akan disiksa, dicerca dan dituntut. Karena eratnya hubungan antara hati jasmani dan hati rohani itu, sehingga kebanyakan akal manusia menjadi bingung untuk membedakannya. Hubungan kedua hati itu seperti halnya sifat dengan jisim yang disifati, atau seperti benda yang dijadikan perkakas dengan sifat perkakasnya.
Seseorang tidak mudah untuk mengatakan bahwa dia telah beriman sebelum mengetahui ilmu tentang hati. Sebagaimana pengakuan orang Arab yang mengatakan bahwa dirinya telah beriman tetapi langsung dibantah oleh Allah SWT.
Maka dengan hatilah, seseorang dapat merasakan iman, dengan hatilah seorang hamba dapat mengenal Rabb-nya.
Hati yang halus itulah hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa, dan ia mengetahui serta mengenal segala sesuatu. Hati inilah yang jadi sasaran pembicaraan, yang akan disiksa, dicerca dan dituntut. Karena eratnya hubungan antara hati jasmani dan hati rohani itu, sehingga kebanyakan akal manusia menjadi bingung untuk membedakannya. Hubungan kedua hati itu seperti halnya sifat dengan jisim yang disifati, atau seperti benda yang dijadikan perkakas dengan sifat perkakasnya.
Seseorang tidak mudah untuk mengatakan bahwa dia telah beriman sebelum mengetahui ilmu tentang hati. Sebagaimana pengakuan orang Arab yang mengatakan bahwa dirinya telah beriman tetapi langsung dibantah oleh Allah SWT.
“Orang-orang Arab Baduwi itu berkata : “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka) : “kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun amalanmu..” (QS. Al-Ahzab : 14).
Hatilah yang
diterima disisi Allah, apabila ia selamat atau terhindar dari hal-hal selain
Allah dan sebaliknya, ia pula yang terhijab atau terdinding dari Allah, apabila
ia tenggelam dalam-hal-hal selain Allah. Hatilah yang akan dituntut, dijadikan
sasaran pembicaraan dan cercaan dan ia pula yang berbahagia dengan mendekat
kepada Allah. Akan menanglah orang yang mensucikan hatinya dan sebaliknya ia
akan kecewa dan celaka jika ia mengotori serta merusak hatinya.
Mengapa Hati Harus Dibersihkan |
“Sungguh akan memperoleh kemenangan (beruntunglah) orang-orang yang membersihkan (hati) nya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syamsi : 9-10).
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih,...” (QS. Al-Baqarah : 10)
Nabi SAW bersabda
:
“Sesungguhnya syaitan mengalir dalam diri manusia melalui urat-urat darahnya, dan mendirikan markasnya dalam dada manusia”.
Juga sabdanya
:
”Sesungguhnya di dalam tubuh anak adam itu terdapat segumpal daging, yang apabila bersih ia maka akan bersihlah semuanya dan apabila rusak (kotor) ia maka rusaklah semuanya”, kemudian para sahabat bertanya ”Apakah itu ya Rasulullah? ketahuilah bahwasanya ia itulah hati”.
Dalam hadist ini
Rasulullah menekankan betapa pentingnya untuk selalu berusaha membersihkan hati,
membersihkan hati bermakna menghapus darinya kecintaan pada dunia dan hal-hal
duniawi serta menghilangkan daripadanya segenap kesedihan, kedukaan,
kekhawatiran, kecemasan, dan takut atas segala sesuatu yang tidak berguna. Dalam
kaitan hati ini para ulama berpandangan bahwasanya semakin manusia tenggelam
dalam berbagi urusan duniawi dan sibuk dengan berbagai hal-hal materiil maka ia
semakin beroleh banyak kesulitan dan akan bertambah pula beban yang
ditanggungnya. Semakin ia memanjakan badannya dengan dan terus-menerus
memperhatikan penampilannya maka keadaan mentalnya akan semakin memburuk,
kemampuan spiritualnya akan semakin memudar, kesucian dan kecemerlangan hatinya
kehilangan semangat, noda dan kegelapan pun semakin bertambah.
Inilah sebabnya mensucikan hati dari pengaruh duniawi dan menerapkan pola hidup zuhud menjadi salah satu syarat yang mesti dipenuhi. Menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah adalah salah satu jalan/cara untuk menuju Allah. Pengertian menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah bukanlah berarti seseorang itu meninggalkan kehidupan duniawinya, tetapi bagaimana seseorang itu tidak menaruh duniawi dalam hatinya melainkan dalam tangannya.
Syekh Abdul Qodir Jailani menjelaskan dalam kitab “Al-fath Rabbany” hal. 90:
“Mensucikan hati sehingga tidak ada sesuatu di dalam hati itu melainkan Allah”.
Seseorang yang menaruh dunia dalam hatinya ketika kehilangan hal-hal duniawi akan goncanglah jiwanya dan semakin terpuruklah keadaannya seolah-olah dunia sudah berakhir, tapi seseorang yang menaruhnya dalam genggaman tangannya tatkala kehilangan pun ia akan lebih bisa memahami bahwasannya di alam dunia itu tidak akan kekal dan akan timbul satu sikap optimis bahwa dia akan mampu untuk meraihnya kembali.
Tujuan pembersihan hati adalah untuk melatih jiwa agar dapat masuk dalam dimensi Ketuhanan yang Maha Latif (halus). Indah tidaknya pandangan batin seseorang akan sangat tergantung dari sejauh mana ia mampu membersihkan hatinya. Hati adalah makhluk Allah yang paling jujur dan sebagai tempat untuk dapat berhubungan kepada Allah. Dan Allah tidak melihat perbuatan kita, juga amal kita, tetapi yang pertama-tama dilihat dan diperiksa oleh Allah adalah hati kita, apakah ada ilmunya atau tidak.
Hatilah yang pada hakekatnya ta’at kepada Allah Ta’ala, sedangkan ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan itu adalah penjelmaan dari cahaya hati. Sebaliknya hati pulalah yang ingkar dan durhaka kepada Allah Ta’ala, sedangkan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada anggota badan itu merupakan pantulan sinar gelap yang ada di dalam hati.
Jadi dengan bersinarnya hati akan muncul kebaikan-kebaikan lahiriah dan dengan gelapnya hati akan muncul pula kejahatan-kejahatan, sebab tiap-tiap bejana (tempat) itu terkena percikan dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Hati adalah bagaikan sebuah cermin yang telah diliputi oleh hal-hal yang membekas dan bekas itu secara bersambung akan sampai kepada hati, adapun bekas-bekas yang terpuji akan membuat cermin hati semakin mengkilap cemerlang, bercahaya dan terang-benderang sehingga berkilauanlah kebenaran yang nyata di dalam hati dan terbukalah hakikat segala sesuatu yang dituntut oleh agama.
Kepada hati semacam inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW :
Inilah sebabnya mensucikan hati dari pengaruh duniawi dan menerapkan pola hidup zuhud menjadi salah satu syarat yang mesti dipenuhi. Menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah adalah salah satu jalan/cara untuk menuju Allah. Pengertian menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah bukanlah berarti seseorang itu meninggalkan kehidupan duniawinya, tetapi bagaimana seseorang itu tidak menaruh duniawi dalam hatinya melainkan dalam tangannya.
Syekh Abdul Qodir Jailani menjelaskan dalam kitab “Al-fath Rabbany” hal. 90:
“Mensucikan hati sehingga tidak ada sesuatu di dalam hati itu melainkan Allah”.
Seseorang yang menaruh dunia dalam hatinya ketika kehilangan hal-hal duniawi akan goncanglah jiwanya dan semakin terpuruklah keadaannya seolah-olah dunia sudah berakhir, tapi seseorang yang menaruhnya dalam genggaman tangannya tatkala kehilangan pun ia akan lebih bisa memahami bahwasannya di alam dunia itu tidak akan kekal dan akan timbul satu sikap optimis bahwa dia akan mampu untuk meraihnya kembali.
Tujuan pembersihan hati adalah untuk melatih jiwa agar dapat masuk dalam dimensi Ketuhanan yang Maha Latif (halus). Indah tidaknya pandangan batin seseorang akan sangat tergantung dari sejauh mana ia mampu membersihkan hatinya. Hati adalah makhluk Allah yang paling jujur dan sebagai tempat untuk dapat berhubungan kepada Allah. Dan Allah tidak melihat perbuatan kita, juga amal kita, tetapi yang pertama-tama dilihat dan diperiksa oleh Allah adalah hati kita, apakah ada ilmunya atau tidak.
Hatilah yang pada hakekatnya ta’at kepada Allah Ta’ala, sedangkan ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan itu adalah penjelmaan dari cahaya hati. Sebaliknya hati pulalah yang ingkar dan durhaka kepada Allah Ta’ala, sedangkan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada anggota badan itu merupakan pantulan sinar gelap yang ada di dalam hati.
Jadi dengan bersinarnya hati akan muncul kebaikan-kebaikan lahiriah dan dengan gelapnya hati akan muncul pula kejahatan-kejahatan, sebab tiap-tiap bejana (tempat) itu terkena percikan dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Hati adalah bagaikan sebuah cermin yang telah diliputi oleh hal-hal yang membekas dan bekas itu secara bersambung akan sampai kepada hati, adapun bekas-bekas yang terpuji akan membuat cermin hati semakin mengkilap cemerlang, bercahaya dan terang-benderang sehingga berkilauanlah kebenaran yang nyata di dalam hati dan terbukalah hakikat segala sesuatu yang dituntut oleh agama.
Kepada hati semacam inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW :
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah akan menjadikan untuknya penasihat dari hatinya” (HR.Abu Manshur ad-dailami dengan sanad yang baik).
Sabdanya lagi
:
“Barang siapa yang mempunyai penasihat dari hatinya maka Allah akan memeliharanya”.
Bagaimana kalau
hati tidak dibersihkan? Allah mengancam dalam Al-qur’an : “Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu
bertambah kekufuran mereka, dan mereka mati dalam keadaan kufur”. (QS. At.Taubah
: 125)
Betapa pentingnya kita membersihkan hati. Ikhlas, iman, dan taqwa adalah efek yang timbul jikalau hati seseorang itu bersih dan sebaliknya iri, dengki, hasad, ria, dsb timbul jikalau hati seseorang itu kotor. Untuk itu hati harus senantiasa dibersihkan sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Walaupun berbagai kalangan telah banyak menyampaikan mengenai soal hati atau Qalbu tetapi pernahkah kita sadari bahwa sebenarnya hanya berputar dalam teori hati, dalam arti kita hanya mempelajari efek dari bersih dan kotornya hati, tetapi tidak pernah kita mengetahui dimana sesungguhnya letak hati itu dan bagaimana cara untuk membersihkannya? Apakah mungkin kita dapat membersihkan sesuatu jikalau kita tidak mengetahui dimana letak sesuatu itu dan bagaimana cara membersihkannya?
Nabi SAW bersabda : “Segala sesuatu ada pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah berzikir kepada Allah”.
Perumpamaan iman di dalam hati itu adalah seperti sayur-sayuran yang tumbuh subur karena air yang bersih sedangkan perumpamaan nifak di dalam hati itu adalah seperti luka yang menjalar karena nanah. Maka dimana di antara kedua hal tadi yang menang maka itulah yang akan menguasai hati seperti sabda Nabi SAW :
Dimana Letak Hati? |
Betapa pentingnya kita membersihkan hati. Ikhlas, iman, dan taqwa adalah efek yang timbul jikalau hati seseorang itu bersih dan sebaliknya iri, dengki, hasad, ria, dsb timbul jikalau hati seseorang itu kotor. Untuk itu hati harus senantiasa dibersihkan sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Walaupun berbagai kalangan telah banyak menyampaikan mengenai soal hati atau Qalbu tetapi pernahkah kita sadari bahwa sebenarnya hanya berputar dalam teori hati, dalam arti kita hanya mempelajari efek dari bersih dan kotornya hati, tetapi tidak pernah kita mengetahui dimana sesungguhnya letak hati itu dan bagaimana cara untuk membersihkannya? Apakah mungkin kita dapat membersihkan sesuatu jikalau kita tidak mengetahui dimana letak sesuatu itu dan bagaimana cara membersihkannya?
Bagaimana Membersihkan Hati |
Nabi SAW bersabda : “Segala sesuatu ada pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah berzikir kepada Allah”.
Perumpamaan iman di dalam hati itu adalah seperti sayur-sayuran yang tumbuh subur karena air yang bersih sedangkan perumpamaan nifak di dalam hati itu adalah seperti luka yang menjalar karena nanah. Maka dimana di antara kedua hal tadi yang menang maka itulah yang akan menguasai hati seperti sabda Nabi SAW :
”Hati orang mukmin itu bersih di dalamnya ada lampu yang bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan terbalik ”(HR. Ahmad & Thabrani).
Dan perumpamaan air
bagi sayuran tadi (hati) adalah zikir kepada Allah. Jalan untuk dapat mencapai
kebersihan hati seperti di atas adalah dengan banyak-banyak mengingat Allah
(zikrullah).
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allalah hati itu dapat menjadi tenang (bersih)” (QS. Ar-Ra’d : 28).
“Ingatlah Tuhanmu di dalam hatimu” (QS. Al-A’raf : 204).
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah” (QS.Al-Hadiid : 16).
Bahkan mengingat
Allah dalam hati (khofi) akan memperoleh pahala yang lebih besar daripada
mengingat Allah dengan lidah, seperti sabda Rasulullah SAW :
“Zikir yang paling baik adalah zikir khofi (dalam hati)” (HR.Baihaqi).
Hati dan Akal |
Di dalam Al-qur’an dijelaskan bahwa hati adalah salah satu alat untuk berfikir (aql), karena aql mengandung arti mengerti, memahami, dan berfikir.
“Maka apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi lalu mereka mempunyai qalb (hati) yang dengan itu mereka dapat memahami atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta tetapi hati yang ada di dalam dada” (QS.Al-Hajj :46)
“Dan sesungguhnya kami jadikan isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalb (hati) tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)” (QS.Al-A’raf:179)
Menurut Al-Qusyairi
perbedaan hati dan akal yaitu akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang
sebenar-benarnya tentang Tuhan.
Sabda Rasulullah SAW : “Janganlah berpikir (menggunakan akal) dalam Dzatullah tetapi berpikirlah kepada ciptaannya”
Disini Rasul sudah menjelaskan bahwa akal itu mempunyai keterbatasan di dalam mengenal Tuhan dan ia (akal) tidak akan sampai kepada pengenalan yang sesungguhnya terhadap Tuhan. Mengenai hal ini secara nyata kita dapat belajar dari i’tibar Nabi Ibrahim AS yang mencoba mencari dan mengenal Tuhan melalui akal dengan memperhatikan alam semesta dan benda-benda ciptaan Tuhan. Nabi Ibrahim memperhatikan jagat raya, matahari, bintang, langit dan seisinya sebagai ciptaan Tuhan. Usaha keras tersebut ternyata sia-sia karena Ibrahim AS tidak menemukan dimana Tuhan. Oleh karena itu melalui hatilah dapat diketahui dan dikenal segala hakikat yang ada.
Sabda Rasulullah SAW : “Janganlah berpikir (menggunakan akal) dalam Dzatullah tetapi berpikirlah kepada ciptaannya”
Disini Rasul sudah menjelaskan bahwa akal itu mempunyai keterbatasan di dalam mengenal Tuhan dan ia (akal) tidak akan sampai kepada pengenalan yang sesungguhnya terhadap Tuhan. Mengenai hal ini secara nyata kita dapat belajar dari i’tibar Nabi Ibrahim AS yang mencoba mencari dan mengenal Tuhan melalui akal dengan memperhatikan alam semesta dan benda-benda ciptaan Tuhan. Nabi Ibrahim memperhatikan jagat raya, matahari, bintang, langit dan seisinya sebagai ciptaan Tuhan. Usaha keras tersebut ternyata sia-sia karena Ibrahim AS tidak menemukan dimana Tuhan. Oleh karena itu melalui hatilah dapat diketahui dan dikenal segala hakikat yang ada.
“Tiadalah berdusta apa-apa yang dilihat oleh hati” (QS. An-Najm : 11).
Sabda Rasulullah
SAW :
“Andaikata setan-setan itu tidak menutupi lensa batin anak Adam, niscaya mereka dapat melihat kepada Alam Malakut yang ada di langit” (HR. Ahmad)
Niat di Dalam Hati |
Suatu ibadah tidak akan sah tanpa niat di dalam hati.
Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap amalan itu di mulai (dinilai) dari niat dan niat itu ada di dalam hati”.
Para imam mujtahid
sepakat bahwasanya aktivitas raga tidak akan diterima tanpa disertai aktivitas
hati, sedangkan aktivitas hati tetap akan dinilai (diterima) meskipun tanpa
aktivitas raga. Andaikata tidak demikian adanya maka iman juga tidak akan
diterima karena fardhu iman ialah diucapkan dengan lidah dan dibenarkan dengan
hati.
“Allah mencatat keimanan di dalam hati mereka”. (QS.Al-Mujadalah : 22)
“Mereka itu adalah orang-orang yang dicoba hatinya oleh Allah untuk takwa” (QS.Al-hujurat:3).
Di dalam sebuah
hadist Rasulullah SAW pernah ditanya:
“Ya Rasulullah! siapakah orang yang terbaik itu? maka beliau menjawab : yaitu orang mukmin yang bersih hatinya, maka ditanyakan lagi : apakah artinya orang yang bersih hatinya itu wahai Rasulullah? beliau lalu menjawab : ialah orang yang takwa, bersih tidak ada kepalsuan padanya, tak ada kedurhakaan, pengkhianatan, dendam dan kedengkian”. (HR. Ibnu Majah)
Dan Sabdanya lagi
:
“Ilmu itu letaknya di dalam dada (hati) bukan pada tulisan”.
Salam,
Mochamad Bayu
sumber : milis daarut tauhid at yahoo dot com
Mochamad Bayu
sumber : milis daarut tauhid at yahoo dot com
hehehe...satire nih ....
BalasHapus“Ilmu itu letaknya di dalam dada (hati) bukan pada tulisan”.