Manusia
bagi Karl Marx disetir oleh perutnya (ekonomi) dan bagi Sigmund Freud oleh
libido seksnya alias kemaluannya. Ketika berhijrah di abad ke 7 M, Nabi sudah
menyinggung temuan Marx dan Freud. Orang berhijrah itu disetir oleh tiga
orientasi : seks, materi dan idealisme atau keimanan (lillah wa rasulihi).
Artinya, manusia itu bisa jadi seharga dorongan perutnya, atau dorongan
seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis, meninggalkan kedua dorongan jiwa
hewani dan nabati itu.
Jadi semua
perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Tapi nafs
mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud
al-qalbi). Anggota nafs dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh
(roh), aql (akal) dan iradah (kehendak) dsb. Al-Qur’an menyebut kata nafs
sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta’aqilun (berakal),
dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia.
Nabi menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb. Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah Allah hanya melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka dari itu qalb atau nafs manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan nafs dari dalam al-Qur’an:
Nabi menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb. Gumpalan itulah yang menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah Allah hanya melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya. (HR. Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka dari itu qalb atau nafs manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan nafs dari dalam al-Qur’an:
Pertama,
nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat
nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan,
kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus
diperangi. Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah nafs yang memiliki tingkat
kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari qalb-nya,
nafs menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil
maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
Tingkat
ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat
jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif
dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam
kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap
imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor
duakan nikmat materi.
Kelima,
Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas
menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah
yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku
engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku). Keenam, Nafs al-Mardhiyyah,
adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan.
Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak
dominan. Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada
tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna.
Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan
kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Begitulah
jiwa manusia. Ada pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang
tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Nabi Sufyan
al-Thawri pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadapi sesuatu yang
lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang
membantunya. Ibn Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua
bisikan: bisikan syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan malaikat )lammat
al-malak).
Perang
melawan nafsu jahat banyak caranya. Sahabat Nabi Yahya ibn Mu’adh al-Razi
memberikan tipsnya. Ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah
sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang
melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti
penunggang kuda dalam medan perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi
adalah jihad. Sabdanya “Pejuang adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam
mentaati Allah” (al-Mujahidu man jahadi nafsahu fi ta’at Allah ‘azza wa
jalla). (HR.Tirmidhi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb).
Kejahatan
diri dalam al-Qur’an juga dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi
mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya. Para ulama pun lantas berfikir
kreatif. Ayat-ayat dan ajaran-ajaran Nabi pun dirangkai diperkaya sehingga
membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi struktur konsep dan akhirnya
menjadi disiplin ilmu.
Ilmu
tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al
Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu
kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa)
atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa
diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj
al-nafs (psychoteraphy).
Dalam Ilmu
al-Nafs ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula
penyakitnya. Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi
(850-934), menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa.
Alasannya, manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa
memiliki keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir
dan memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau
jiwa itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa
lama kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter
yang hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam
bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani
(kedokteran ruhani).
Jadi,
hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja,
boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai
oleh akalnya, qalb-nya untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang
memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan
ridho dan diridhoi. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya
(misykat) bagi umat manusia.
0 komentar:
Posting Komentar