Kata “Ulama” memiliki arti bermacam-macam pada zaman
yang berbeda-beda, juga oleh pihak yang
berlain-lainan. Dalam bahasa arab modern, kata “Ulama” digunakan untuk menunjuk kepada para ahli,
seperti ulama al-Tiib (ahli kedokteran,
seorang dokter) dan Ulama al-Nawawi
(ahli nuklir). Di negara kita, hingga saat ini kata tersebut digunakan untuk
menunjukkan seorang ahli agama, dan di kalangan NU kata tersebut berarti
seorang ahli agama yang memiliki atau
memimpin pondok pesantren. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kata tersebut di
lingkungan NU juga berarti para pemimpin pondok pesantren, baik yang menguasai
ilmu-ilmu keagamaan maupun tidak.
Tulisan ini, menunjuk pada dua hal terakhir, yaitu
ahli ilmu-ilmu agama Islam maupun para pemimpin pondok pesantren. Kata itu,
dalam kedua pengertian tersebut, juga dicakup oleh penggunaannya sebagai pengertian tentang para pemimpin
organisasi. Secara keseluruhan, kata “Ulama” digunakan bagi para pemimpin NU
dalam berbagai tingkatan, baik yang
memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam maupun tidak. Terkadang,
kata “Ulama” tidak disebutkan, tetapi mereka dimaksudkan ada dalam penggunaan
istilah lain –seperti kata Forum Langitan.
Dengan demikian, kata “Ulama” yang dimaksudkan di
sini adalah para pemimpin NU dari berbagai tingkatan pengetahuan agama, menjadi
pengurus NU atau tidak, dari berbagai tingkatan
kepemimpinan (pusat, daerah propinsi dan daerah tingkat II).
Karena PKB didirikan oleh NU, para pemimpin partai
tersebut juga dapat disebut sebagai Ulama. Dengan demikian, Ulama yang memperjuangkan demokratisasi
adalah pengurus PKB atau NU dari berbagai tingkatan, juga dari tingkat
kepengurusan yang berbeda-beda dan juga termasuk yang tidak memiliki pondok
pesantren, namun tunduk pada kemauan mereka. Hal ini perlu dikemukakan terlebih
dahulu, untuk menjaga kesimpangsiuran dalam peristilahan. Hal yang sama pernah
dilakukan oleh Sydney John dalam artikel panjangnya, yang dimuat oleh majalah
Indonesia dari Cornell University di Amerika Serikat, tentang istilah Umat
Islam.
Dalam muktamar NU tahun 1935, di Banjarmasin,
diajukan sebuah pertanyaan; wajibkah bagi kaum muslimin di kerajaan
Hindia-Belanda (kita, saat itu dikenal dengan nama tersebut) mempertahankan
negara itu, yang diperintah oleh orang-orang Belanda yang non-muslim? Jawab
muktamar adalah wajib, karena kaum muslimin di negeri ini masih bebas
melaksanakan ajaran agama mereka, dan juga karena di sini dulu terdapat
kerajaan-kerajaan Islam. Jawaban ini dapat dilihat dalam tesis S-2 yang ditulis
oleh Einar Sitompul dan menunjukkan pendapat mayoritas Ulama yang tidak
menginginkan negara Islam.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, para pemimpin berbagai
gerakan Islam memutuskan untuk menghapuskan Piagam Djakarta dari pembukaan Undang
Undang Dasar (UUD) 1945. Abikusno Tjokrosuyoso (SI), Ki Bagus Hadikusumo dan
KH. A. Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Ahmad Subardjo (Masyumi), KH. A. Wachid
Hasjim (NU), A.R. Baswedan (PAI) dan H. Agus Salim dari berbagai gerakan Islam
mengambil keputusaan itu bersama-sama dengan Soekarno dan Hatta. Dasar dari
keputusan itu adalah apa yang disampaikan Laksamana Maeda dari pemerintahan
pendudukan Jepang –sehari sebelumnya, atas permintaan para anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tidak beragama Islam. mereka tidak
bersedia menerima Piagam itu karena secara efektif akan menempatkan diri mereka
dan para warga masyarakat lainnya yang tidak beragama Islam dalam kedudukan
sebagai warga negara kelas dua. Dan,
keputusan itu tidak pernah dibantah oleh
para ulama Figh (hukum figh), dengan demikian memperoleh pengesahan tidak
langsung dan berlaku efekif.
Pada akhir tahun 1984, muktamar NU di Asembagus
(Situbondo) telah memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
organisasi, menggantikan Islam. Dengan demikiian, NU menggantikan asas
Islam dengan asas Pancasila, padahal
sebelumnya organisasi tersebut adalah organisasi yang secara resmi ditetapkan
sebagai perkumpulan Islam. Dengan rumusan begitu, NU secara tidak resmi dapat
dinyatakan sebagai; bukan sebagai
oganisasi Islam, dan secara resmi menjadi perkumpulan agama saja.
Hal yang sama juga menjadi tanda
pernyataan diri (identitas) PKB. Sebagai sayap politik NU, PKB ditetapkan oleh
Mukernas (2001) di Jakarta dan Muktamar Luar Biasa (MLB) dipercepat di
Yogyakarta (2002) sebagai partai terbuka. Ia menjadi terbuka bagi kaum
non-muslimin maupun bagi wanita –yang oleh penulis disebut PKB=NU plus.
Dengan terhentinya pengikisan KKN secara efektif
oleh para pimpinan partai politik yang ada, maka terhenti pula upaya
demokratisasi di Indonesia. Tinggal PKB saja yang melaksanakan hal itu secara
efektif, itupun karena pimpinan PKB berani melaksanakannya, walaupun sering
disebut berwatak otoriter –oleh mereka
yang tidak setuju dengan tindakan
tersebut.
Karena penulis sebagai pimpinan DPP PKB berani
melakukan hal itu, dengan dukungan para Ulama NU terkemuka di berbagai
tingkatan, dengan sendirinya PKB dan NU langsung menjadi kekuatan efektif untuk
melakukan upaya demokratisasi di negara ini. Sudah tentu hal itu dilakukan
bersama-sama dengan para aktifis lainnya di negeri kita, tetapi jelas sekali
keikutsertaan Ulama –yang sering dianggap kolot
dan tradisional. Perjuangan masih panjang, dan banyak sekali kemungkinan
hal-hal yang akan terjadi di negeri ini, namun amanat menegakkan demokrasi di
negeri kita jelas didukung para Ulama.
Kita ucapkan selamat kepada mereka, dan kepada
proses demokratisasi di negeri ini. Dirgahayu !!!!
0 komentar:
Posting Komentar