Khalid bin Walid, panglima perang Islam semasa Rasulullah SAW, bercita-cita mati
syahid di medan perang. Allah ternyata berkehendak lain. Pahlawan legendaris
yang digelari Saifullah (pedang Allah) itu justru meninggal dalam kesendirian di
kamarnya. Bagi kaum Muslimin, mati syahid dalam pertempuran melawan musuh-musuh
Islam, memang, terasa gagah. Heroik dan dramatis. Mati syahid, mati saat
berjihad membela kebenaran di jalan Allah dan demi memperoleh ridha Allah, bukan
hanya kematian yang indah, tapi juga mulia; memenuhi janji Allah untuk hidup
abadi di sisi-Nya.
Allah berfirman, ''Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.'' (Ali 'Imran ayat 169-170).
Itulah salah satu sebab mengapa banyak orang terpanggil untuk berjihad
di jalan Allah dan bercita-cita mati syahid. Persoalannya, jihad itu bukan hanya
berperang melawan musuh-musuh Islam seperti di zaman Khalid bin Walid dulu.
Istilah jihad, tulis Dr M Quraish Shihab dalam Wawasan Alquran, sering
disalahpahami atau dipersempit artinya.
Alquran mengisyaratkan jihad
sebagai perjuangan melawan kebatilan. Sepanjang hayat manusia, bahkan sampai
kiamat kelak, dituntut untuk berjuang melawan segala bentuk kebatilan.
''Al-jihad madhin ila yaum al-qiyamah.'' (jihad, perjuangan, terus berlanjut
sampai hari kiamat). Jihad itu banyak bentuk dan macamnya. Begitu pula
kebatilan. Jihad di jalan-Nya juga bukan hanya perang secara fisik melawan
kebatilan yang berada di luar, tapi juga di dalam diri kita sendiri.
Dalam surat At-Taubah ayat 24, Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya'.''
Ayat tersebut menunjukkan keutamaan
berjihad di jalan Allah, seperti keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tak
ada kata pedang, senjata, atau bau darah di dalamnya. Setiap Muslim, apa pun
profesi dan pekerjaannya, yang menegakkan kebenaran demi Allah, punya kesempatan
yang sama untuk berjihad.
Para pemberani yang kukuh dan teguh melawan
kebatilan, kezaliman, dan kebiadaban seperti Munir (almarhum), misalnya, insya
Allah, termasuk orang-orang yang lulus menempuh ujian, dengan segala kemampuan,
kesabaran, dan ketabahannya. Jihad adalah cara yang ditetapkan Allah untuk
menguji manusia. Orang yang tahan uji seperti itu, kalaupun gugur di jalan
Allah, ia menempuh kematian yang indah. Seperti kata Allah, ia tidak mati,
bahkan hidup di sisi Allah dengan mendapat rezeki-Nya. Wallahu a'lam.
Home »
DAKWAH
,
EKONOMI ISLAM
,
METAFISIKA
,
MUDZAKAROH
,
MUSLIM
,
RENUNGAN
,
ULAMA
» KEMATIAN YANG INDAH (HUSNUL KHOTIMAH)
KEMATIAN YANG INDAH (HUSNUL KHOTIMAH)
Written By Unknown on Selasa, 16 Oktober 2012 | 14.45
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Label:
DAKWAH,
EKONOMI ISLAM,
METAFISIKA,
MUDZAKAROH,
MUSLIM,
RENUNGAN,
ULAMA
Dalam surat At-Taubah ayat 24, Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'.''
BalasHapusMungkin harus tau dulu latar belakang turunnya ayat ini. Tidak segampang itu ditafsirkan. Justru dengan menafsirkan Jihad dalam ayat ini sebagai bersungguh-sungguh justru menyempitkan arti jihad itu.